GridStar.ID – Pandemi virus sejatinya belum berakhir, siapapun bisa saja terkena Covid-19.
Seorang dokter penyintas Covid-19, curhat merasa bersalah pada keluarga dan teman-temannya.
Sementara itu, dia juga jengkel ketika tahu ada warga yang tak takut Corona.
Seperti dilansir dari Kompas.com, meningkatnya angka penyebaran virus corona agaknya tidak dipedulikan masyarakat.
Entah itu ratusan atau ribuan kasus positif Covid-19 bertambah, sebagian masyarkat tetap cuek.
Warga Jakarta, misalnya, tetap saja kumpul-kumpul di luar rumah.
Restoran ramai dengan muda-mudi yang tengah bercengkrama. Tempat hiburan dan pusat perbelanjaan kembali dibanjiri warga yang mau memanjakan mata.
Perlahan, kata transisi dianggap jadi lampu hijau untuk bebas beraktivitas di luar.
Kira-kira itulah yang dirasakan Disa Edralyn (27). Lewat akun Twitter miliknya, dia menumpahkan keluh kesah berkait kondisi masyarkat yang makin abai akan bahaya Covid-19.
“Bangsal isolasi penuh. Mau ngerujuk pasien covid pro HCU. Malam ini udah ngehubungin DUA PULUH SATU RS rujukan dan semua full. Buat yang mau jalan2/nongkrong2, think carefully,” twit dia pada 27 Agustus 2020 lalu.
Wanita yang berprofesi sebagai dokter umum ini mengaku heran. Mengapa tidak ada yang takut akan bahaya Covid-19.
Padahal, sudah banyak tenaga kesehatan yang berguguran karena Covid-19, karena merawat mereka-mereka yang awalnya abai dan tak peduli dengan virus bernama resmi SARS-CoV-2.
“Kenapa ya, kok kayak enggak ada takut-takutnya. Saya heran,” kata dia saat dihubungi Selasa (1/9).
Disa sendiri tak mau jadi pasien positif Covid-19 untuk kali kedua. Iya, dia sempat dinyatakan positif Covid-19 pada pertengahan bulan Juli lalu.
Bukan karena berkeliaran dan jalan-jalan keluar rumah, Disa positif Covid-19 karena tugasnya yang berkutat di rumah sakit, membantu para pasien.
Konsuekuensi itu diakui Disa, dia menerima dengan lapang dada. Kala itu, di tengah kesibukannya sebagai dokter umum di rumah sakit swasta, Disa mendadak mengalami gejala yang tak wajar.
Dia menerka ini adalah gejala yang selaras dengan Covid-19. Swab test dia lakukan demi memastikan kondisi kesehatan.
Ternyata benar, Disa postif Covid-19. Ketika tahu berstatus positif Covid-19, Disa mengaku tak kaget.
Dia sadar, cepat atau lambat bakal jadi salah satu orang yang terpapar penyakit peyebab gangguan sistem pernapasan itu.
“Perasaan saya, waktu tahu saya positif, aduh jadi merasa bersalah dengan teman-teman saya yang saling kontak dengan saya gimana, orang rumah, gimana pasien-pasien saya. Malah itu yang saya pikirkan,” kata dia.
Ibunya, yang juga berprofesi sebagai dokter di salah satu Puskemas, sebelumnya sempat positif Covid-19.
Sang ibu telah sembuh dan beraktivitas normal setelah karantina mandiri.
Melihat pengalaman ibunya, Disa optimistis bakal sembuh dari Covid-19.
Hari pertama sebagai pasien, dia langsung mengisi waktu dengan berbagai kegiatan. Dia sadar betul kekosongan tanpa kegiatan akan membuat dirinya meratapi kondisi kesehatan yang tak jarang berujung stres.
“Selama isolasi saya istirahat, baca-baca buku belajar dan dapat dukungan moral sih, sebisa mungkin stay positive ya. Namanya juga manusia, down-nya juga ada,” kata dia.
Keluarga dan kerabat lagi-lagi jadi motor utama penggerak semangat Disa.
Dukungan yang mereka berikan membuat Disa merasa tak sendirian kala menjalani isolasi mandiri, walau tak jarang segelintir kekhawatiran selalu menggelitik pikiran.
Enam hari dia lalui dengan baik kala jalani isolasi mandiri di salah satu rumah sakit swasta. Sisanya dia habiskan masa isolasi mandiri di rumah sendiri.
Usai jalani isolasi mandiri selama 14 hari, tak ada alasan menunda untuk kembali bertugas.
Masih ada banyak pasien yang butuh sentuhan tangannya, guna sembuh dari penyakit.
Tak tanggung-tanggung, Disa langsung menyanggupi ketika diperintahkan menjaga ruang isolasi, meski rasa takut sempat menghampiri.
“Saya mau masuk lagi ke ruang isolasi dengan menggunakan hazmat. Dalam hati saya nih, aduh, gimana nih kalau malah bawa pulang virus ke rumah. Itu pertama kalinya selama jadi dokter takut hadapi pasien,” ucap dia dalam sambungan telepon.
Rasa takut, khawatir dan bingung campur aduk dalam benak Disa ketika bertugas di hari pertama. Ini membuktikan bahwa Disa juga manusia biasa.
Ada rasa takut dan ego ingin melindungi keluarga sendiri, khawatir karena tak mau lagi jadi pasien positif.
Namun, rasa itu tidak akan pernah dia tunjukkan. Ditutupinya wajah takut itu dengan masker dan senyuman demi membuat tenang pasien.
“Cara saya lawan rasa takut itu ya balik lagi tujuan saya jadi dokter, kan memang passion di situ ya. Saya berdoa dan minta support dari keluarga juga,” ucap dia.
Disa harus berkutat di dalam baju hazmat yang begitu panas. Keringat mengucur tak dihiraukannya lagi demi memantau pasien di dalam ruang isolasi.
Memang Disa tak seperti para perawat yang harus memakai baju hazmat lebih lama. Namun, tetap saja lelahnya sungguh terasa.
“Saya paling lama enam jam pakai baju hazmat. Walau sudah capek fisik dan stres juga. Karena sedikit banyak pikiran kita juga ngaruh. Namanya juga manusia pasti pikiran takut tertular juga ada dong,” terang Disa.
Namun, di tengah lelah itu, sesekali Disa membagikan pengalaman selama dirinya dan sang ibu jadi pasien Covid-19.
Cerita itu diharapkan bisa memotivasi para pasien agar semangat sembuh.
Kadang masih ada saja warga yang menganggap Covid-19 hanyalah konspirasi rumah sakit. Dengan alasan ini dan itu serta pengetahuan yang minim, beberapa orang berani menyangkal keberadaan Covid-19 di depan wajah Disa.
Terbayang seluruh perjuangan yang dilakukan Disa dan sang ibu demi sembuh dari Covid-19 hanya dianggap sebuah kebohongan oleh masyarakat.
”Jujur saya kesal melihat orang orang seperti itu. Sudah hampir enam bulan lebih kita pandemi dan masih mepertanyakan pandemi ini benar apa tidak, saya ini miris gitu. Ini bukan saatnya kita mempertanyakan ini ada atau tidak,” tegas dia.
Dengan sabar Disa kembali menejelaskan bahaya Covid-19 kepada orang seperti itu.
Rasa kesal juga dirasakannya kala melihat orang abai dengan protokol kesehatan. Demi mengobati kejenuhan, warga nekat jalan-jalan keluar.
“Mungkin ada beberapa masyarakat yang mikir kalau belum kena Covid-19 di internal keluarga ya belum percaya. Kedua informasi yang simpang siur juga berbahaya,” jelas dia.
Dahulu sempat tersiar kabar bahwa Covid-19 bisa sembuh sendiri jika istirahat total. Memang untuk beberapa kasus hal itu benar adanya.
Namun, jangan sampai alasan tersebut jadi memperingan langkah kaki warga untuk keluar rumah. Penyebaran informasi bahaya Covid-19 juga harus seimbang.
Dia paham betul beberapa kebijakan pemerintah seperti membuka kembali bioskop dan pusat perbelanjaan memicu masyarakat untuk bepergian.
Namun, alangkah baiknya, kata Disa, informasi tentang bahaya Covid-19 dan pola penyebarannya juga harus diberitakan dengan maksimal.
“Jangan memberikan pemberitaan yang maunya senang-senang saja. Itukan jadinya memberikan harapan palsu kalau ‘ini loh, mal sudah dibuka , semua sudah dibuka’. Silahkan dibuka tapi tolong diedukasi kalau sudah dibuka belum berarti sudah aman,” terang dia.
Dia harap masyarakat sadar bahwa sebenarnya ujung tombak melawan Covid-19 ini bukan tenaga kesehatan lagi.
Namun, ujung tombak kini berada di pundak masing-masing warga.
Hanya kesadaran dan kepekaan masyarakat tentang kesehatanlah yang bisa menyelamatkan dari Covid-19.
Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul Isi Hati Dokter Penyintas Covid-19: Kesal dan Jengkel Lihat Warga yang Tak Takut Corona.(*)