GridStar.ID-Pada Jumat (10/09), para umat kristiani di seluruh dunia akan memperingati perayaan Jumat Agung.
Perayaan Jumat Agung tahun ini, agaknya akan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumya.
Hal tersebut dikarenakan pandemi virus corona atau Covid-19 yang sedang mewabah dunia termasuk tanah air kita tercinta, Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah mengimbau untuk tidak melakukan aktivitas yang berkerumun atau pengumpulan massa.
Jumat Agung merupakan perayaan mengenang peristiwa penyaliban sang Juru Selamat, Yesus Kristus.
Mengutip dari Tribun Jabar, berikut sejarah penyaliban Yesus
Yesus dihukum mati di kayu salib.
Peristiwa tersebut diperingati dalam ibadah Jumat Agung oleh umat Kristiani di seluruh dunia.
Penyaliban adalah sebuah hukuman mati yang dianggap paling kejam dan memalukan di masanya.
Penyaliban sendiri adalah metode eksekusi di mana seseorang digantung dengan lengannya dari salib
atau struktur serupa hingga mati.
Namun, jika merunut sejarahnya, sebenarnya kapan metode eksekusi ini mulai dianut oleh masyarakat?
Merunut Sejarah Penyaliban
Dalam sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan di South African Medical Journal (SAMJ) pada Desember 2003,
para penulis menyebut bahwa kemungkinan eksekusi ini berasal dari Asiria dan Babilonia.
Meski begitu, penyaliban pertama kali digunakan secara sistematis oleh bangsa Persia pada abad ke-6 sebelum masehi (SM).
Saat itu, korban penyaliban diikat ke pohon atau tiang dengan kaki jauh dari tanah.
Seiring berjalannya waktu, bentuk tiang palang (salib) digunakan untuk melaksanakan hukuman ini.
Pada abad ke-4 SM, Alexander Agung mengadopsi metode ini dan membawanya ke Mediterania lalu berkembang ke Mesir, Suriah, Fenisia, dan Kartago (daerah di Afrika Utara).
Baca Juga: Pertama Kali Rayakan Natal Bersama Istri Baru Puput Nastiti Devi, Ahok Sudah Wanti-Wanti Hal Ini!
Selama Perang Punisia (Romawi melawan Kartago), para tentara Romawi mempelajari teknik ini.
Bahkan, Romawi menerapkan bentuk eksekusi penyaliban selama lebih dari lima abad.
Menurut sejarawan, ke mana pun prajurit Romawi berada, mereka sering menerapkan eksekusi ini.
Tak tinggal diam, suku lokal yang berperang melawan Romawi juga membalas perlakuan para prajurit itu dengan cara yang sama.
Misalnya saja pada tahun 9 masehi, pemimpin Jerman Arminius menyalib banyak prajurit Romawi yang dikalahkan oleh Varus.
Kisah serupa kembali terjadi pada tahun 28 masehi, ketika suku Jerman menyalib para penagih pajak Romawi.
Sayangnya, hanya sedikit informasi tentang sejauh mana penyaliban dilakukan di Spanyol, Galia, Afrika Utara, dan Asia.
Selain bangsa Romawi, perkamen Qumran juga menjadi bukti adanya penyaliban bangsa Yahudi setelah abad ke-2 SM.
Perkamen tersebut menjadi bukti bahwa Hukum Yahudi pada masa itu menerima penyaliban sebagai salah satu metode eksekusi yang lebih tua dibanding hukuman rajam atau mencekik.
Di bawah pendudukan Romawi, bentuk hukuman ini menjadi hal biasa.
Bahkan pada tahun 4 SM, bangsa Romawi talah menyalib 2.000 orang Yahudi.
Pada masa itu, penyaliban dipandang sebagai hukuman budak.
Selain itu, hukuman ini juga sarat dengan muatan politik.
Selama abad pertama masehi, terjadi penyaliban besar-besaran yang diberikan pada kebanyakan orang Yahudi karena memberontak pada Roma.
Meski begitu, kebanyakan korban yang dihukum dengan penyaliban disebut dengan "perampok".
Baca Juga: Pandemi Corona terjadi di saat Paskah 2020, Ini Himbauan dari Kemenag
Prosedur penyaliban
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, di masa Persia, hukuman penyaliban dilakukan dengan menggantung korban di pohon atau tiang.
Orang Romawi masih melakukan penyaliban di pohon dan tiang dari waktu ke waktu.
Baru kemudian, tiang palang digunakan seiring berkembangnya waktu.
Tiang yang umum digunakan berukuran 1,8 hingga 2,4 meter dengan berat sekitar 130 kg.
Sedangkan palang yang digunakan berukuran 1,5 hingga 1,8 meter dengan berat 57 kg.
Korban penyaliban dipaku atau diikat pada tiang palang tersebut.
Namun sebelum itu, dalam hukum Romawi, seseorang yang dieksekusi dengan penyaliban akan mengalami hukum cambuk dulu kecuali perempuan, senator, atau tentara Romawi.
Pencambukannya sendiri adalah prosedur sangat brutal karena dilakukan dengan tongkat kayu atau cambuk pendek dengan tali kulit dan bola kecil tajam yang diikat diujungnya.
Korban semula ditelanjangi, diikat ke tiang palang (salib), dan kemudian dicambuk.
Hukum Romawi tidak mengenal batasan untuk tingkat cambuk, tapi hukum Yahudi membatasi sejumlah 40 pukulan.
Meski begitu, cambukan selalu menghasilkan luka yang dalam hingga pendarahan dengan tujuan untuk melemahkan korban secara signifikan.
Selain mencambuk, beberapa algojo yang sadis sering membuat korbannya cacat dengan memotong lidah atau membutakan mata.
Jika sudah begitu, korban sering kali pingsan hingga mengalami kematian mendadak.
Korban yang tidak mati setelah menerima hukuman cambuk akan dipaksa untuk membawa patibulum atau tiang palang yang diikatkan ke pundaknya menuju lokasi eksekusi.
Di Yerusalem, menurut adat, akan ada perempuan yang menawarkan minuman analgesik pada korban untuk meredakn nyeri.
Tak hanya itu, di beberapa kasus penyaliban, korban dipaku bagian tangannya.
Tujuannya adalah agar tidak lepas dalam memanggul patibulum hingga lokasi eksekusi.
Pada prosedur ini, korban dikawal oleh sejumlah prajurit untuk memastikan korban meninggal.
Baca Juga: Pertama Kali Rayakan Natal Bersama Istri Baru Puput Nastiti Devi, Ahok Sudah Wanti-Wanti Hal Ini!
Kematian korban rata-rata memakan waktu 3-4 jam hingga tiga hingga empat hari.
Setelah korban meninggal, hukum Romawi mengizinkan keluarga untuk memindahkan jenazah untuk dimakamkan jika mendapatkan izin dari hakim.
Jika tidak ada izin dari hakim, mayat akan dibiarkan disalib hingga dimakan hewan atau burung pemangsa.(*)