"Dan yang bikin saya sangat khawatir adalah data kasus infeksi Covid-19 anak yang memprihatinkan di atas masih belum menggambarkan masalah yang sesungguhnya karena cakupan tes kita yang sangat rendah apalagi pada anak," kata dia.
Dicky menyebutkan, sekolah yang sukses dan aman dibuka selama pandemi adalah sekolah di lokasi atau wilayah yang telah mencapai low community transmission rates atau tingkat penularan di komunitas rendah.
Parameternya, kurang dari 1 kasus baru per 100.000 orang per hari. "Ini belum terpenuhi di Indonesia," ujar dia.
Selain itu, menurut dia, yang harus dilakukan saat ini adalah tetap fokus dalam menjaga population-level infection control atau pengendalian infeksi tingkat populasi.
"Mayoritas wilayah kita, meski zona hijau sekali pun, are not testing enough to reopen schools safely (tidak cukup menguji untuk membuka kembali sekolah dengan aman)," lanjut Dicky.
Ia memaparkan, keamanan sekolah sangat bergantung pada tingkat penularan di masyarakat. Artinya, ketika penularan masih tinggi di masyarakat, maka semakin besar risiko untuk siswa.
"Ini peringatan dan perlu dicegah terjadi di Indonesia dengan tetap menutup sekolah hingga penularan di masyarakat terkendali," papar Dicky. Risiko Covid-19 pada anak, menurut sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet, harus menjadi perhatian.
Studi dilakukan terhadap 582 anak terinfeksi Covid-19 di 21 negara Eropa yang teridentifikasi di rumah sakit. Data penelitian menunjukkan sebagai berikut:62 persen harus dirawat, dengan 8 persen di ICU 4 persen memerlukan mechanical ventilation dengan rata-rata 7 hari, dan dalam kisaran 1-34 hari 25 persen memiliki pre-existing conditions atau kormobid, serta 0,7 persen meninggal dunia. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Sekolah Tatap Muka di Zona Kuning, Sudah Siap dengan Risiko dan Bahayanya?