"Padahal, banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu," lanjut dia.
Biasanya, langkah negara maju seperti AS itu akan diikuti oleh negara lainnya, seperti Kanada dan negara-negara Eropa.
Hal itu akan mempersulit situasi Indonesia yang tengah memerlukan kenaikan kinerja eskpor akibat pandemi Covid-19.
Bhima mengatakan, kenaikan status itu juga akan berdampak signifikan pada pembiayaan utang.
Dengan naiknya status menjadi upper middle income, Indonesia dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih tinggi.
Menurut Bhima, negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang income-nya lebih rendah dari Indonesia, khususnya negara kelompok low income countries.
"Dengan kondisi ini maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin terbatas. Pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1 persen tentunya makin berat," kata dia.
Akibatnya, pemerintah makin gencar menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual dengan market rate.
"Sekarang saja sudah di atas 7 persen bunganya. Mahal sekali dan pastinya ke depan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah," ujar Bhima.