Yayah juga mengungkapkan, orangtua 8 siswa tersebut kurang mampu. Mereka sama sekali tak memiliki alat komunikasi. Juga tak memiliki televisi. Jika ada pun, kata dia, siaran televisi tidak bisa ditangkap antena televisi.
"Makanya saya ke sana, banyak materi pelajaran untuk disampaikan kepada anak. Minta mereka mempelajarinya. Kami juga titip kepada orangtuanya supaya terus membimbing anaknya saat belajar," jelas Yayah.
Fakta lainnya, kata Yayah, di perjalanan masih banyak satwa liar. Yayah sendiri mengaku tak berani pergi sendiri karena takut.
"Kami pergi bersama-sama. Kalau enggak bareng, takut. Di jalan masih banyak monyet. Kami juga persiapan di jalan bawa tongkat, takut ada monyet," kata Yayah.
Kondisi rumah siswa, lanjut Yayah, rumahnya hanya semi permanen. Dinding bawahnya tembok, sedangkan dinding atas terbuat dari bilik bambu.
"Hampir semua sama, rumahnya semi permanen," ujarnya.
Yayah mengaku kasihan kepada anak didiknya yang enggak bisa belajar secara normal.
"Mudah-mudahan cepat beres pandeminya. Sudah kangen kepada anak-anak dan suasana sekolah," ujar Yayah.
Sedangkan Eem Maesaroh mengatakan, perjuangan dia dan rekannya ini dilakukan supaya siswanya tetap bisa belajar meski berada di rumah.