Dr Salaroli mengatakan kepada surat kabar Corriere bahwa beban emosi staf medis "menghancurkan" dan beberapa dokter di dalam timnya "remuk" oleh pilihan-pilihan yang terpaksa dibuat.
"Bisa terjadi pada dokter kepala begitu pula dengan dokter muda yang baru tiba dan harus memutuskan nasib seorang manusia. Saya ulangi, dalam skala besar," ujarnya.
"Saya melihat sejumlah perawat dengan 30 tahun pengalaman, menangis, orang dengan krisis mental, tiba-tiba gemetar."
Alat bantu pengarah keputusan dokter
Penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia kedokteran sebetulnya bukan hal baru. Misalnya saja sudah ada alat bantu untuk dokter kulit, yang bisa memprediksi kapan pasien bisa mengembangkan kanker kulit.
Yang membuat alat bantu terbaru ini berbeda adalah, para dokter bekerja sambil belajar mengenai Covid-19. Alatnya juga bisa membantu mengarahkan tenaga medis ke sasaran yang tepat.
“Dengan begitu, juga membantu para dokter membuat keputusan, pasien mana yang harus mendapat perhatian khusus,“ kata Anasse Bari, profesor ilmu komputer di NYU yang juga terlibat dalam riset.
Tim ilmuwan gabungan AS dan China sekarang masih menyempurnakan alat bantu buatannya dengan menginstal data dari pasien Covid-19 di New York.