Tingkat Kematian Karena Virus Corona di Eropa dan Amerika Tercatat Lebih Tinggi di Bandingkan Asia, Ternyata Ini yang Jadi Penyebabnya

Rabu, 03 Juni 2020 | 16:02
Xinhua

Vaksin Virus Corona Belum Ditemukan, Ini Obat yang Dinilai Paling Menjanjikan Mengobati Covid-19 Selama Pandemi?

GridStar.ID - Selama ini yang banyak diketahui bahwa virus corona berasal dari China.

Virus ini bahkan menyebar di seluruh dunia dan menjadi pandemi yang menginfeksi banyak orang.

Tercatat lebih dari 6,48 juta penduduk bumi pada Selasa (02/06) telah terinfeksi.

Baca Juga: Penelitian Menemukan, Melalui Latihan Kini Anjing Bisa Mendeteksi Bau Khas Penderita Infeksi Virus Corona Melalui Urine Seseorang

Sebanyak 382.268 pasien yang meninggal dunia, dan 3.010.483 telah sembuh.

Tingkat kematian dari setiap negara pun beragam, di Asia sendiri tingkat kematian tercatat cukup rendah.

Sedangkan kematian tertinggi ada di benua Eropa dan Amerika.

Baca Juga: Komunikasi dengan Alam Ghaib, Paranormal Kejawen Ini Sampaikan Teguran Keras Leluhur, Tradisi Lama Ini Mulai Ditinggalkan bak Jadi Penyebab Mudahnya Corona Mewabah!

Dilansir dari The Washington Post via Kompas.com, pada Kamis (28/05), China mencatatkan angka kematian kurang dari 5.000 kasus atau sekitar tiga kematian per satu juta penduduk.

Jepang memiliki tujuh kematian per satu juta, Korea Selatan dan Indonesia lima, India tiga dan Thailan satu per satu juta penduduk.

Bahkan ada beberapa negara di Asia yang mencatatkan nol kasus kematian karena covid-19.

Baca Juga: Bawa Angin Segar! China Sebut Vaksin Virus Corona Ini 99 Persen Efektif Bekerja, Kapan Siap Diproduksi Massal?

Padahal di Eropa dan Amerika diketahui ada begitu banyak kematian terkait Covid-19.

Jerman mencapai 100 per satu juta, AS hampir 300, dan di Inggris, Italia dan Spanyol lebih dari 500 orang per satu juta penduduk.

Lalu apa yang menyebabkan kematian di Eropa dan Amerika karena virus corona menjadi cukup tinggi?

Baca Juga: Kabar Baik! 4 Negara ASEAN Umumkan Nihil Kematian Karena Covid-19, Bahkan Pasien Virus Corona di Negara Tetangga Ini Bisa Sembuh 100 Persen!

Peneliti mulai mencari tahu beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi, seperti perbedaan genetik, respons sistem kekebalan tubuh, jenis virus dan tingkat obesitas.

Penyebaran Infeksi

Para ilmuwan dari Chiba University, Jepang memperhatikan lintasan virus di seluruh dunia dan menemukan perbedaan regional yang mencolok.

"Itu berarti kita perlu mempertimbangkan perbedaan regional terlebih dahulu sebelum menganilisis kebijakan dan faktor lain yang mempengaruhi penyebaran infeksi di negara mana pun," kata Akihiro Hisaka dari Sekolah Pascasarjana Ilmu Farmasi.

Baca Juga: Umumkan Nasib Pemberangkatan Jemaah Haji Tahun 2020 di Tengah Wabah Corona, Menteri Agama Fachrul Razi: Keputusan yang Pahit!

Tingginya jumlah kematian di Amerika dan Eropa kemungkin terjadi karena tak mau merespon lebih awal pandemi yang terlihat tak mengancam itu.

Asia sebelumnya sudah memiliki pengalaman dalam penanganan wabah sebelumnya seperti SARS dan MERS.

Hal itu menjadi bekal bagi mereka bergerak lebih cepat untuk menangani wabah yang baru ini.

Baca Juga: Kabar Gembira Penangkal Corona Telah Ada, Dapat Obat Covid-19 dari China, Gubernur Maluku Serahkan 1.200 Dus untuk Rumah Sakit: Ini Menyembuhkan Pasien di Wuhan!

Cuaca dan Budaya

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa panas dan kelembaban bisa memperlambat penyebaran virus meski tak menghentikannya.

Tetapi beberapa negara khatulistiwa seperti Ekuador dan Brazil menunjukkan hasil yang berbeda, ada banyak kasus dan kematian karena virus corona.

Faktor demografi juga berperan dalam kesenjangan regional.

Di Jepang sendiri percaya dengan menerapkan kebersihan dan kebiasaan baik, penggunaan masker serta menghindari jabat tangan menjadi salah satu cara memperlambat penyebaran virus.

Perawatan kesehatan secara luas dan penekanan negara dalam melindungi orang tua bisa menurunkan angka kematian di sana.

Baca Juga: Covid-19 Masih Jadi Pandemi di Indonesia, Menteri Agama Tetapkan Pelaksaan Ibadah Haji Tahun Ini Dibatalkan

Virus bermutasi

Penelitian dari Cambridge University menemukan bahwa virus tersebut bermutasi saat meninggalkan Asia Timur dan menyebar di Eropa.

Tipe awal virus mungkin secara imunologis telah bermutasi untuk mengatasi perlawanan di luar Asia.

Ahli genetika yang memimpin penelitian, Peter Forster mengatakan, ada data klinis yang sangat terbatas tentang bagaimana berbagai tipe virus berinteraksi dengan populasi yang berbeda.

Ia masih terus menindaklanjuti apakah perbedaan tipe virus itu mampu menjelaskan tingkat kematian yang kontras.

Baca Juga: Bak Angin Surga Tanda Covid-19 Segera Berakhir, Dokter Terbaik di Italia Sebut Virus Corona Telah Kehilangan Potensinya dan Melemah Karena Lihat Hal Ini!

Gen dan Sistem Imun

Dokter dan imunolog Jepang, Tasuku Honjo menyampaikan orang keturunan Asia dan Eropa memiliki perbedaan besar dalam haploptipe antigen leukost (HLA), gen yang mengendalikan sistem kekebalan tubuh terhadap virus.

Hal itu yang mungkin bisa menjelaskan tingkat kematian Asia bisa lebih rendah.

Namun ini tak bisa menjadi satu-satunya alasan.

Peneliti dari Tokyo University, Tatsuhiko Kodama menyampaikan bahwa sistem kekebalan tubuh orang Jepang cenderung bereaksi terhadap virus corona seakan mereka telah memiliki paparan sebelumnya.

Selain itu ia menyampaikan bahwa vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) mungkin juga memiliki peran.

Suntikan ini berpotensi terhadap respons peningkatan kekebalan pada tingkat sel.

Namun, tak hanya Jepang, Perancis juga memiliki catatan vaksinasi ini walaupun dengan jenis vaksin yang berbeda.

Baca Juga: Bak Angin Segar Legakan Masyarakat, Salah Satunya Disampaikan Tangan Kanan Jokowi, 6 Kabar Baik Terkait Pandemi Corona di Tanah Air, Apa Sajakah?

Tingkat Obesitas

Asia memiliki tingkat obesitas yang cukup rendah dibandingkan dengan Eropa dan Amerika.

Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk penyakit Covid-19.

Menurut WHO, Jepang hanya ada 4 persen orang obesitas, dan Korea Selatan kurang dari 5 persen.

Sedangkan di Eropa Barat ada lebih dari 20 persen orang mengalami obesitas, dan Amerika ada sekitar 36 persen. (*)

Editor : Hinggar

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya