“Saya bimbang, karena yang dipakai alat sederhana, tidak menantang banget. Karena yang saya buat terbilang canggih. Tapi dalam ekosistem inovasi, voice of customer sangat penting. Makanya saya libatkan dokter,” ucap dosen ITB ini mengungkapkan.
Ia akhirnya menyetujui permintaan Ike. Meski terbilang sederhana, prosesnya tidak mudah.
Kondisi pandemi membuat material yang dibutuhkan sulit ditemukan. Apalagi material yang berasal dari luar negeri, tekendala juga oleh pengiriman sehingga tidak bisa dipastikan akan sampai kapan.
Syarif kemudian memutuskan membuat material yang dibutuhkan. Misal dalam pembuatan pompa. Ia mencari produk yang ada di Indonesia dan tidak berebut.
Pilihannya jatuh pada pompa peniup kasur. Ia modif pompa peniup kasur dengan motor yang biasa digunakan drone. Kemudian, alat itu akan dilengkapi dengan venting. Semua proses ini sempat dicibir.
Syarif dan timnya dinilai tidak akan mampu menyelesaikan ventilator. Ada juga yang bilang, Vent-I sebagai proyek “mission impossible”.
Namun keraguan sejumlah pihak itu tidak dihiraukannya. Ia terus maju, walaupun diisi dengan air mata.
“Pasien Covid harus dirawat 14 hari, maka minimal alat saya harus mampu bertahan 14 hari. Tapi begitu dicoba, hanya tahan 2 hari 2 malam. Saya perbaiki, ganti material, eh 12 jam rusak. Nangislah saya, gimana bisa nolong orang,” tutur dia.
Setelah menangis, ia pun bangkit dan kembali terus mencoba, hingga produknya berhenti diujicoba setelah melewati 21 hari.