Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Dunia Masih Dihantui Wabah Virus Corona, Para Ilmuwan Sebut Seantero Belahan Bumi Dibayang-bayangi Gempuran Bencana Akibat Peristiwa Ini

Yulia Susanti - Selasa, 19 Mei 2020 | 05:30
 Dunia Masih Dihantui Wabah Virus Corona, Para Ilmuwan Sebut Seantero Belahan Bumi Dibayang-bayangi Gempuran Bencana Akibat Peristiwa Ini
Pixabay.com

Dunia Masih Dihantui Wabah Virus Corona, Para Ilmuwan Sebut Seantero Belahan Bumi Dibayang-bayangi Gempuran Bencana Akibat Peristiwa Ini

GridStar.ID - Virus corona masih menjadi momok yang menakutkan bagi dunia.

Setiap harinya jumlah kasus yang terjangkit virus corona terus bertambah.

Hingga kini, vaksin yang diharapkan masih belum juga ditemukan.

Baca Juga: Kabar Baik Penangkal Virus Corona, Selama Ini Ditungu-tunggu Akhirnya Pemerintah Ciptakan Obat Covid-19 dan Siap Dibagikan Agustus Mendatang!

Belum kelar permasalahan wabah tersebut, dunia kini dibayang-bayangi terjadinya bencana lain.

Belakangan ini santer disebut periode lockdown yang tengah dialami matahari.

Menurut ilmuwan, periode ini berpotensi menimbulkan becana seperti gempa bumi, cuaca beku bahkan kelaparan.

Baca Juga: Walau Negara Miskin Tapi Terbebas dari Corona, Kebiasaan Penduduknya Makan Kelapa Jadi Perdebatan, Rahasia Bebas Covid-19?

Melansir Nakita.id, Rupanya, lockdown yang dimaksud adalah aktifitas permukaan matahari yang sedang turun drastis, karena berada dalam periode solar minimum (minimum matahari).

Akibat hal tersebut, sinar matahari pun mengalami penurunan drastis yang ditandai dengan bintik matahari yang menghilang.

“Solar minimum sedang berlangsung, dan ini parah,” ujar Astronom Dr Tony Phillips dikutip dari The Sun via Kompas.com, Minggu (17/05).

Baca Juga: Meski Terbukti Jenazah Terinfeksi Corona, Sejumlah Warga Tetap Nekat Buka Plastik dan Memandikannya, Ini Akibat yang Diterima Warga

Menurut Philips dari jumlah bintik matahari yang ada, kondisi saat ini termasuk yang terparah dalam satu abad terakhir.

Karena hal tersebut, medan magnet matahari sontak menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya.

"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan perubahan udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer bumi, dan dapat membantu memicu petir," ujarnya.

Baca Juga: Bikin Penelti Dunia Keheranan, Pasien Positif Corona di Indonesia Alami Gejala Baru yang Sangat Aneh dan Tak Biasa dari Pasien di Negara Lain, Kok Bisa?

Kondisi ini pun membuat para ilmuwan NASA khawatir Dalton Minimum yang pernah terjadi antara tahun 1790 dan 1830 kembali terjadi.

Pasalnya, pada saat Dalton Minimum terjadi, suhu menjadi sangat dingin, munculnya letusan besar gunung berapi, gagal panen, dan timbulnya kelaparan.

Saat itu, suhu bahkan anjlok hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun dan produksi pangan dunia merosot.

Baca Juga: Bak Mimpi Buruk, Kurva Pasien Covid-19 di Indonesia Melonjak Naik hingga 17 Ribu, Peneliti Temukan Gejala Baru Virus Corona dan Menganggapnya Aneh, Apa Itu?

Salah satu efek Dalton Minimum di Indonesia adalah letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815, yang menewaskan sedikitnya 71.000 orang.

Dampak lainnya, saat itu, juga menjadi tahun tanpa musim panas di tahun 1816.

Melansir dari Forbes yang menukil data dari Spaceweather.com, sudah ada 100 hari di tahun 2020 ini, di mana matahari menunjukkan nol bintik matahari.

Baca Juga: Di Indonesia Tembus 17.000 Kasus, Paranormal Kondang Ini Sebut Pandemi Virus Corona Mirip Peristiwa di Jawa Masa Lampau hingga Singgung Ritual dan Teguran dari Alam, Ada Apa?

Tahun ini, matahari pun telah mengalami kekosongan tanpa bintik sebesar 76 persen.

Sementara itu, pada tahun 2019, matahari sempat mengalami kekosongan sebesar 77 persen. Dua tahun berturut-turut sedikit bintik membuat minimum matahari semakin parah. (*)

Source : nakita.grid.id

Editor : Grid Star

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Hot Topic

Tag Popular

x