Hasanudin diminta untuk jadi mualaf bila ingin menikahi wanita tersebut.
Akhirnya Hasanudin resmi menjadi seorang mualaf di usia 43 tahun.
Ia kemudian merantau ke Sukabumi, Jawa Barat, dan memulai hidup baru dengan sang istri.
Di sana ia kembali memulai hidupnya yang baru dan mencoba melupakan masa lalunya.
Kehidupan jadi mualaf membuatnya menjadi pribadi yang selalu bersyukur bahkan ada satu momen dimana dirinya selalu mendapatkan pertolongan tak terduga.
Pernah pada suatu ketika, ia dihadapkan kesulitan saat sang anak membeli sepatu dan diharuskan membayar uang sekolah sebanyak Rp 300 ribu.
Saat itu ia hanya pasrah sembari tetap berikhtiar mencari jalan keluar dengan tetap berjualan keliling.
Karena tak kunjung mendapat pembeli, cincau yang ia jual mulai rusak.
Beruntung, ada seseorang yang ingin membeli es cincaunya tersebut.