GridStar.ID- Belum lama ini dunia dihebohkan dengan kabar meninggalnya sosok Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Kabar kepergian orang terpenting di Korea Utara itu berawal dari bocornya pemberitaan mengenai keadaan Kim Jong Un selepas operasi.
Keadaannya yang kritis dan tak kunjung sadarkan diri membuat banyak media asing menyimpulkan hal tersebut.
Bahkan sudah banyak media yang menyorot adik kandung Kim Jong Un, Kim Yo Jong yang disebut-sebut akan menggantikan sang kakak dalam memimpin negaranya.
Seperti yang khalayak ketahui bahwa Korea Utara merupakan salah satu negara komunis yang masih ada hingga kini.
Selain itu, Korea Utara juga merupakan satu-satunya negara yang amat sangat tertutup dengan dunia luar.
Peraturan di sana juga banyak yang terbilang aneh dan sadis.
Salah satunya adalah seperti yang dilansir dari Tribun Manado, sejak Korea Utara tak bisa mengimpor pupuk dari Korea Selatan karena embargo pada tahun 2010, negara pimpinan Kim Jong Un itu mengandalkan feses manusia dan hewan untuk dijadikan pupuk.
Setiap warga negara memiliki kewajiban mengumpulkan feses dan memberikannya pada pihak berwenang.
Yeonmi Park, wanita yang berhasil meloloskan diri dari Korea Utara pada tahun 2007, bercerita bagaimana pahitnya mengumpulkan kotoran hewan dan manusia, untuk menambah kekurangan pupuk.
Awalnya, pemerintah berkampanye untuk mengisi kekurangan pupuk dengan sumber lokal dan terbarukan, yakni kotoran manusia serta hewan.
Setiap rumah tangga, pekerja dan sekolah memiliki jatah yang harus dipenuhi.
"Setiap anggota rumah tangga memiliki tugas sehari-hari, sehingga ketika kita bangun di pagi hari, itu seperti perang. Bibi saya yang paling kompetitif," kata Yeonmi seperti dikutip dari Mirror, Selasa (16/08/2016).
Banyak orang yang berkompetisi untuk mengumpulkan kotoran terbanyak.
Pada tahun 2010, kotoran manusia mulai dijual di toko.
Warga juga harus berhati-hati agar kotorannya tidak dicuri di malam hari karena letak kamar mandi yang begitu jauh.
Ada pula yang sampai mengunci kakus untuk menghindari pencurian kotoran.
Masih menurut cerita Yeonme, tak jarang guru di sekolah mengirim muridnya ke luar ke jalan-jalan, hanya demi menemukan kotoran dan membawanya kembali ke kelas.
"Jadi kalau kita melihat anjing buang kotoran di jalan, itu seperti emas. Paman saya di Kowon punya anjing besar yang membuat kotoran besar. Semua orang dalam keluarga akan berjuang di atasnya," kata dia.
Mengutip dari Grid Pop, mengingat berat total rata-rata kotoran manusia kurang dari 99kg per harinya, pemerintah Korea Utara telah menambahkan bahwa siapa pun yang gagal harus menyerahkan kompos makanan seberat 300kg.
Fakta bahwa rata-rata orang menghasilkan 320 kg tinja dalam satu tahun membuat pendekatan Kim Jong-un tidak masuk akal.
Meskipun demikian, dia tentu saja tampak yakin tentang rencana tersebut selama pidato pidato berlangsung.
“Pihak berwenang di masing-masing daerah memberi tugas kepada pabrik, lembaga, dan kelompok warga dengan memberikan tanda kutip produksi untuk setiap individu,” kata sumber DPRK.
“Mereka menuntut agar setiap orang menghasilkan 100 kg kotoran manusia per hari, atau sekitar 3 ton per bulan.
Tapi bagaimana mungkin satu orang bisa menghasilkan 3 ton kotoran manusia dan mengirimkannya?”
"Kebanyakan orang tidak dapat (membuat atau mengumpulkan) 100kg per hari, sehingga mereka akhirnya memberikan seberapa yang mereka anggap cukup," tambahnya.
“Oleh karena itu kuota menjadi tidak berarti. (Kuota) diperlakukan sama baik di kota dan desa dan berlaku untuk semua orang secara merata.
Ketika pabrik pakaian dan makanan kota (beroperasi dengan kapasitas penuh), pekerja akan mencoba segala cara untuk mengisi permintaan kuota itu.”
Dia menambahkan bahwa warga juga dapat membayar biaya tunai, atau membeli pupuk dari pedagang untuk memenuhi tuntutan harian itu.
Kebijakan Kim Jong-un itu dengan cepat mengundang kebencian di Korea Utara dari semua pihak.
Peraturan aneh itu sendiri harus dilakukan untuk mengatasi krisis pupuk yang menjadikan perekonomian negara menurun.
"Orang-orang marah, mengkritik rezim karena (sengaja menetapkan kuota sangat tinggi) yang memaksa orang membayar uang tunai, kemudian mengklaimnya akan digunakan untuk produksi pertanian," tegasnya. (*)