Pengesahan RUU Cipta Kerja Tuai Kontroversi, Begini Sederet Plus dan Minusnya, Apa Saja?

Selasa, 06 Oktober 2020 | 12:45
Tribunnews

Pengesahan RUU Cipta Kerja Tuai Kontroversi, Begini Sederet Plus dan Minusnya, Apa Saja?

GridStar.ID - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menyorot perhatian publik.

Omnibus law RUU Cipta Kerja resmi disahkan DPR sebagai Undang-Undang pada rapat paripurna yang dilakukan pada Senin, (05/10).

Diketahui, pengesahan ini ditandai dengan ketuk palu dari Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin usai mendapat persetujuan semua peserta rapat.

Baca Juga: Bak Petir di Siang Bolong, Iuran BPJS Naik Lagi Hampir 100 Persen Per 1 Juli 2020, Serta BPJS akan Hapus Sistem Kelas dan Menggantinya Menjadi 1 Kelas Standar Lantaran Dianggap Tak Sesuai dengan Undang-Undang

Diberitakan Kompas.com, dari sembilan fraksi yang duduk di kursi wakil rakyat, tecatat hanya dua fraksi yang menolak pengesahan tersebut, yakni Partai Demokrat dan PKS.

Pengesahan UU Cipta Kerja ini juga diwarnai dengan sejumlah aksi demonstrasi.

Sebab, UU tersebut dinilai merugikan bagi kalangan buruh dan pekerja.

Berikut ini sejumlah poin minus dan plus dari UU Cipta Kerja:

Baca Juga: Ditolak Oleh Para Buruh Hingga Gerakan Mogok Nasional Dilakukan, Ini Penjelasan Mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Minus

Sejak RUU Cipta Kerja dibahas oleh pemerintah dan DPR, sejumlah kalangan telah bersuara menyatakan penolakan.

Melansir dari Kompas.com pada Minggu (4/10/2020) memberitakan, bahkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta 32 federasi serikat buruh lainnya berencana melakukan aksi mogok nasional pada tanggal 6 hingga 8 Oktober 2020.

Mereka menilai ada beragam poin yang merugikan pekerja di dalam UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Digrebek saat Asyik Pesta di Rumah Dinas DPR RI, Tommy Kurniawan Gontok-Gontokan dengan Petugas Pemdal Ini Faktanya: Meresahkan Masyarakat Sekitar

Di antaranya adalah penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK), diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).

Penggantian ini dinilai akan upah pekerja lebih rendah.

Kemudian, dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan bahwa waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Baca Juga: Tak Tahan Lagi Mulan Jameela Banjir Air Mata, saat Paranormal Ini Ungkap Pesan dari Sosok di Balik Cincin yang Melingkar di Jari Manisnya: Sedih Melihat Anak Saya...

Ketentuan tersebut lebih lama dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebut kerja lembur dalam sehari maksimal tiga jam dan 14 jam dalam satu minggu.

Hal lain yang dipermasalahkan adalah salah satu poin pada Pasal 61 yang mengatur waktu berakhirnya perjanjian kerja.

Jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha, sehingga berpotensi membuat status kontrak pekerja abadi, bahkan pengusaha dinilai dapat mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.

Baca Juga: Rela Lepas Gelar Diva Pilih Melenggang ke Senayan dan Jadi Anggota Dewan, Terbongkar Sumber Kekayaan Krisdayanti yang Ditaksir Sampai Rp 271 Miliar!

Permasalahan cuti yang tertera pada Pasal 79 ayat 2 poin b juga dianggap bermasalah.

Sebab tertulis, waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Selain itu dalam ayat 5, RUU juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun.

Baca Juga: Profil Puan Maharani, Cucu Presiden Soekarno yang Kini Menjabat sebagai Ketua DPR RI

Cuti panjang akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 42 dalam RUU ini juga dianggap bermasalah.

Ini karena melalui pasal tersebut, dianggap akan memudahkan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk direkrut.

Baca Juga: Bisa Jadi Bumerang, Menteri Pertanian Sahkan Tanaman Ganja Legal di Indonesia, DPR RI Setuju dengan Syarat Ini!

Pasal tersebut mengamandemenkan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Ini berbeda jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018 di mana TKA harus mengantongi beberapa perizinan, seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

Dengan demikian, saat UU Cipta Kerja disahkan, perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya membutuhkan RPTKA.

Baca Juga: Masuk Golongan Narkotika, Anggota DPR Malah Setujui Gagasan Menteri Pertanian yang Tetapkan Ganja Legal, Alasannya: Ujung-ujungnya Kita Impor Produk Farmasi!

Plus

Sementara itu, ada sejumlah poin plus, menurut pemerintah, yang didapatkan dengan disahkannya UU Cipta Kerja.

Dilansir Kompas.com, Senin (5/10/2020), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menilai UU Cipta Kerja dapat mendorong debirokratisasi sehingga pelayanan pemerintah akan lebih efisien, mudah dan pasti karena ada penerapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria), serta penggunaan sistem elektronik.

Selain itu, dalam UU Cipta Kerja terdapat dukungan bagi UMKM lewat kemudahan dan kepastian dalam proses perizinan melalui OSS.

Baca Juga: Lempar Kritik Pedas ke Dirut PLN saat Rapat, Kinerja Mulan Jameela Sebagai DPR Malah Dipertanyakan Netizen: Emang Bisa Baca Laporan Keuangan? Pertanyaan Itu Pasti Titipan!

Selain itu, diatur kemudahan dalam mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kemudahan dalam mendirikan Perusahaan Terbuka (PT) Perseorangan.

“Kemudahan ini dengan persyaratan yang mudah dan juga biaya yang murah, sehingga ada kepastian legalitas bagi pelaku usaha UMKM,” kata Airlangga.

Bagi koperasi juga disebutnya akan mudah dalam pendiriannya dengan menetapkan minimal sembilan orang anggota.

Baca Juga: Mulan Jameela Resah Lihat Utang PLN Capai Rp600 Triliun, Istri Ahmad Dhani Singgung di Rapat DPR: Kenaikan Tarif Ini Meresahkan sampai ke Telinga Kami Anggota Komisi VII

Selain itu, sertifikasi halal dilakukan percepatan dan kepastian proses, serta memperluas lembaga pemeriksa halal menjadi dapat dilakukan ormas Islam ataupun perguruan tinggi negeri.

Masyarakat juga disebut dapat memiliki kepastian pemanfaatan atas ketelanjutan lahan dalam kawasan hutan, di mana lahan yang berada di kawasan konservasi, hasil kebun dapat dimanfaatkan masyarakat dengan pengawasan pemerintah.

Bagi nelayan, diatur penyederhanaan perizinan berusaha, untuk kapal perikanan dengan dilakukan melalui satu pintu di KKP, Kemenhub akan memberikan dukungan melalui standar keselamatan.

Baca Juga: 4 Tahun Silam Digrebek Berduaan di Hotel Bareng Komandan, Siapa Sangka Artis Lawas Ini 2 Periode Berturut-turut Sukses Duduki Kursi DPR RI

"Pemerintah juga mengejar percepatan reformasi agraria dan redistribusi tanah yang akan dilakukan oleh bank tanah,” ujar Airlangga.

Menurut dia, UU Cipta Kerja juga memberikan kepastian pemberian pesangon dengan menerapkan program Jaminan Pekerjaan (JKP) yang tidak mengurangi manfaat JKK, JKM, JHT, dan JP, serta tidak membebani iuran pekerja atau pengusaha.

Pelaku usaha, menurut dia, akan mendapat kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan peizinan berusaha dan penerapan perizinan berbasis risiko dan penerapan standar.

“Selain itu, adanya ruang kegiatan usaha yang lebih luas untuk dapat dimasuki investasi dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan pemerintah,” ungkap Airlangga. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Plus Minus Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Sudah Disahkan"

Editor : Tiur Kartikawati Renata Sari

Sumber : kompas

Baca Lainnya