GridStar.ID-Sudah lebih dari setengah tahun virus corona mewabah di dunia.
Banyak cara yang telah diupayakan oleh Pemerintah setiap negara juga para ahli demi memusnahkan virus ini dari muka bumi.
Akan tetapi, hasilnya justru belum semaksimal yang diharapkan.
Kini, fakta baru mengenai virus corona seakan kembali mengguncang dunia.
Ratusan ilmuwan dari berbagai negara menemukan bukti virus corona menyebar di udara dan mendesak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk merevisi rekomendasinya.
Seperti diberitakan Kompas.com, Senin (06/07) sebelumnya, WHO telah sejak lama beranggapan bahwa virus SARS-CoV-2, hanya menyebar lewat droplet atau percikan pernapasan yang keluar saat seseorang batuk atau bersin.
Namun, bukti adanya partikel virus yang lebih kecil yang ada di udara dapat menginfeksi manusia telah diungkapkan para ilmuwan dalam surat terbukanya kepada WHO.
Sebanyak 239 ilmuwan yang menulis surat terbuka kepada WHO, CDC Amerika Serikat dan lembaga kesehatan lainnya, mendesak perubahan pada panduan publik tentang penyebaran virus SARS-CoV-2.
Sebelumnya, pedoman WHO yang fokus pada beberapa protokol kesehatan, yakni mencuci tangan, menjaga jarak sosial (physical distancing) dan tindakan pencegahan terhadap droplet dengan penggunaan masker.
Para ilmuwan mendesak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk merevisi rekomendasinya.
Jika virus corona dapat menular lewat udara, ini adalah faktor penting dalam penyebaran pandemi. Hal ini terutama terjadi di ruangan dengan ventilasi buruk, konsekuensi penularan besar.
WHO telah lama berpendapat bahwa SARS-CoV-2 hanya disebarkan lewat droplet atau percikan pernapasan yang keluar saat seseorang batuk atau bersin.
Namun dalam surat terbuka untuk WHO, ratusan ilmuwan ini memaparkan sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa partikel yang lebih kecil dan ada di udara dapat menginfeksi manusia.
Para peneliti berencana menerbitkan surat terbuka mereka dalam jurnal ilmiah minggu depan.
Bahkan dalam pembaruan terbaru virus corona SARS-CoV-2 yang dirilis 29 Juni, WHO mengatakan bahwa penularan virus melalui udara hanya mungkin terjadi dalam prosedur medis yang menghasilkan aerosol atau tetesan yang lebih kecil dari 5 mikron. Satu mikron sama dengan sepersejuta meter.
Sementara pedoman pengendalian infeksi dari WHO, sejak sebelum dan selama pandemi ini, mencuci tangan dengan sabun merupakan strategi pendegahan utama Covid-19.
Benedetta Allegranzi, pimpinan teknis WHO untuk pengendalian infeksi mengatakan bahwa bukti virus menyebar melalui udara tidak meyakinkan.
Ilustrasi Virus corona
"Dalam beberapa bulan terakhir, kami telah menyatakan beberapa kali bahwa kami menganggap transmisi melalui udara itu mungkin. Tapi, hal ini tidak didukung oleh bukti kuat dan jelas. Ada perdebatan kuat tentang hal ini," kata Allegranzi seperti diwartakan New York Times, Sabtu (04/06).
Dari apa yang dilakukan WHO selama ini, banyak ahli menilai komite pencegahan dan pengendalian infeksi dari WHO sangat kaku, lambat, dan tidak mau mengambil risiko dalam memperbarui panduan terkait Covid-19.
"Saya benar-benar frustasi tentang masalah (virus corona) ada di aliran udara dan ukuran partikel (yang kecil)," kata Mary-Louise McLaws, anggota komite dan ahli epidemiologi Universitas New South Wales di Sydney.
"Jika kita meninjau kembali aliran udara, kita harus siap untuk mengubah banyak hal," imbuhnya.
Pada awal April, sekitar 36 pakar kualitas udara dan aerosol mendesak WHO untuk mempertimbangkan bukti yang berkembang tentang penularan virus corona melalui udara.
Agensi dengan cepat merespons permintaan ini. Mereka memanggil Lidia Morawska, pemimpin kelompok dan konsultan WHO untuk mengatur pertemuan diskusi.
Namun diskusi tersebut tidak mengubah saran komite terkait penularan virus corona melalui udara.
Dr Morawska dan lainnya menunjukkan beberapa insiden yang mengindikasikan penularan virus melalui udara, terutama di ruang tertutup dengan ventilasi buruk.
Mereka mengatakan, WHO membuat perbedaan antara aerosol kecil dan percikan yang lebih besar.
Padahal yang ditemukan ahli, seseorang dapat terinfeksi corona karena keduanya.
"Sejak 1946, kami tahu bahwa batuk dan berbicara menghasilkan aerosol," kata Linsey Marr, ahli penularan virus melalui udara dari Virginia Tech.
Para ilmuwan belum dapat menumbuhkan virus corona baru dari aerosol di laboratorium. Namun itu tidak berarti aerosol tidak infektif.
"Sebagian besar sampel dalam percobaan tersebut berasal dari kamar rumah sakit dnegan aliran udara yang baik yang akan melemahkan tingkat virus," kata Dr Marr.
Namun sebagian besar gedung tidak dilengkapi ventilasi udara yang baik, sehingga pertukaran udara tidak terjadi.
"Ini yang menimbulkan virus menumpuk di udara dan menimbulkan risiko lebih besar," imbuhnya.
Menurut Dr. Marr, WHO hanya memiliki definisi tunggal dari transmisi udara. WHO meyakini, patogen di udara seperti virus campak, harus sangat menular dan virus bisa menempuh jarak jauh.
Bill Hanage, seorang ahli epidemiologi di Harvard T.H Chan School of Public Health menambahkan, banyak orang menganggap remeh penularan virus melalui udara.
Ratusan ahli sepakat bahwa virus corona SARS-CoV-2 adalah patogen pembawa penyakit paling menular ketika orang melakukan kontak berkepanjangan dalam jarak dekat, terutama di dalam ruangan, dan terlebih dalam peristiwa superspreader.
Prinsip kehati-hatian
Selama pandemi, WHO tampak berselisih dengan kelompok ilmuwan lain.
WHO lambat dalam mendukung pemakaian masker untuk publik.
Padahal, organisasi kesehatan lain termasuk Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS sejak lama mengakui bahayanya penularan oleh orang tanpa gejala (OTG).
Di saat yang sama, WHO masih berpendapat bahwa transmisi asimptomatik jarang terjadi.
Banyak ahli mengatakan WHO harus memisahkan prinsip kehati-hatian dan prioritas kebutuhan.
Gagasan bahwa bahkan tanpa bukti definitif, WHO harus memiliki asumsi terburuk dari virus, menerapkan akal sehat, dan merekomendasikan perlindungan terbaik untuk umat manusia.
"Tak ada bukti yang tidak dapat dibantah bahwa SARS-CoV-2 ditransmisikan secara signifikan oleh aerosol," kata Dr. Trish Greenhalgh, seorang dokter perawatan primer di Universitas Oxford di Inggris.
"Jadi saat ini kita harus membuat keputusan dalam menghadapi ketidakpastian, dan itu akan menjadi keputusan yang membawa malapetaka jika kita salah," katanya. (*)