GridStar.ID -Rapid test selama ini dinilai mahal dan memberatkan masyarakat dengan ekonomi kebawah.
Namun, pemerintah telah menetapkan batas biaya yang lebih murah dari sebelumnya.
Kabar itu disampaikan oleh Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Tri Hesty Widyastoeti.
Ia mengatakan bahwa besaran biaya seratus lima puluh ribu rupiah telah disepakati.
Biaya tersebut sudah termasuk alat rapid test, alat pelindung diri (APD) petugas medis dan biaya jasa pelayanan.
Kemenkes belum menetapkan sanksi untuk yang melanggar batas harga itu.
Melansir Nakita.id, "Besaran biaya Rp150.000 itu untuk pasien mandiri. Intinya bukan yang untuk screening yang bantuan pemerintah,” ujar Hesty sebagaimana dikutip dari siaran pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin (13/07) mengutip dari Kompas.com.
Saat biaya rapid test bisa dibilang murah karena sudah ditetapkan, nyatanya Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meminta pemerintah tidak lagi menggunakan metode pemeriksaan rapid test untuk mendeteksi kasus virus corona ( Covid-19).
Menurutnya, biaya rapid test untuk mendeteksi penularan Covid-19 dinilai tidak ada gunanya dan hanya membuang uang negara.
Hal tersebut disampaikan Pandu melalui Kompas.com.
"Testing masal rapid test engggak ada gunanya itu. Buang duit sama buang tenaga," kata Pandu kepada Kompas.com, Jumat (10/7).
Metode rapid test merupakan pemeriksaan cepat untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus yang menyerang tubuh manusia.
Pandu mengatakan, rapid test akan sangat berbahaya apabila menunjukan hasil negatif.
"Yang negatif disangkanya sehat padahal bisa aja dia membawa virus. Itu menyebabkan di daerah pakai rapid test akan banyak peningkatan kasusnya," ujar dia.
"Pemerintah bikin surveillance (pengawasan) yang bagus, testing yang banyak pakai PCR, jangan pakai rapid test,"
Menurutnya, rapid test tidak bisa jadi jaminan seseorang tertular Covid-19 atau tidak.
"(Rapid test) enggak ada gunanya, enggak ada gunanya untuk surveillance, enggak ada gunanya untuk deteksi, enggak ada gunanya untuk screening, stop sama sekali," lanjutnya.
Hal ini tentu sangat signifikan dengan adanya pelonjakan kasus dan penambahan pasien positif Covid-19 terus-menerus, sekalipun biaya rapid test sudah ditentukan.
Bahkan, langkah rapid test seolah dijadikan pilihan pemerintah untuk melacak riwayat kontak pasien positif Covid-19 secara masif guna mengetahui seberapa banyak warga yang terpapar Covid-19.
"Jadi, konsepnya testing dengan PCR, contact tracing, sama isolasi bagi mereka yang positif (Covid-19)," ujar Pandu.
Sebelumnya, Pandu menilai penambahan kasus positif Covid-19 di Jakarta tengah berjalan menuju puncak kedua kurva pandemi Covid-19.
Alasan tingginya penambahan jumlah kasus positif Covid-19 adalah tingkat kedisiplinan warga dalam mematuhi protokol pencegahan Covid-19 masih rendah.
Padahal, kata Pandu, kedisiplinan dalam mematuhi protokol pencegahan Covid-19 seperti memakai masker, saling menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan mampu meminimalisasi penyebaran virus corona.
"Jakarta sudah pernah di puncak (kurva), terus turun, landai, tapi belum benar-benar turun benar. Terus naik lagi, jadi sudah puncak kedua. Kan puncaknya bisa dua, tiga juga bisa," kata Pandu. (*)