GridStar.ID - Baru-baru ini kasus TKW Adelina Lisao menjadi sorotan publik.
Fakta pembuhan Adelina Lisao pada 2018 silam menuai duka mendalam.
Pasalnya, kini Mahkamah Persekutuan Malaysia atau setara Mahkaham Agung di Indonesia pada Kamis, (23/6/2022) mengesahkan pembebasan majikan Adelina Lisao.
Padahal, pekerja migran di Malaysia asal Nusa Tenggara Timur ini meninggal dunia dengan banyak luka pada Februari 2018 lalu.
Majelis hakim yang beranggotakan Vernon Ong Lam Kiat, Harmindar Singh Dhaliwal, dan Rhodzariah Bujang menolak permohonan jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi.
Seperti dikutip dari BBC Indonesia, dalam putusannya, Hakim Vernon, yang mengetuai majelis hakim, mengatakan Pengadilan Tinggi telah mengeluarkan putusan dengan benar dalam membebaskan majikan Adelina, Ambika MA Shan.
Indonesia dan Malaysia gagas kesepakatan soal perlindungan pekerja migran, tapi kekerasan masih bisa terus terjadi.
Hakim Vernon mengatakan jaksa penuntut umum harus memberikan alasan mengapa mengajukan permohonan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA).
Menurutnya, DNAA hanya boleh diberikan jika ada alasan valid yang diberikan pihak jaksa.
"Malah berdasarkan catatan banding, tiada alasan diberikan pihak pendakwaan (di Pengadilan Tinggi)," kata Hakim Vernon sebagaimana dilaporkan kantor berita Bernama. DNAA berarti terdakwa dibebaskan dari dakwaan, namun dapat dituntut lagi di kemudian hari.
Sebaliknya, putusan Mahkamah Persekutuan ini membuat Ambika bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina. Hermono, selaku duta besar Indonesia untuk Malaysia, hadir dalam sidang putusan Mahkamah Persekutuan pada Kamis.
Dia mengaku kecewa dengan putusan tersebut karena "tidak mencerminkan rasa keadilan".
"Bagaimanapun juga, kita tahu Adelina meninggal di rumah majikan dengan kondisi luka di sekujur tubuhnya karena infeksi yang tidak diobati. Dia tidak pernah dibawa ke dokter. Putusan itu menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian Adelina.
"Sulit bagi kita untuk menerima bahwa ada seseorang yang meninggal sedemikian tragis di rumah majikannya, tapi tidak ada yang bertanggung jawab," papar Hermono kepada BBC News Indonesia dalam wawancara melalui sambungan telepon.
Soal jaksa yang meminta DNAA terhadap majikan Adelina juga menjadi faktor yang mengecewakan bagi Hermono.
"Jaksa tidak memberikan argumentasi yang jelas kenapa mengajukan DNAA, hanya mengatakan itu petunjuk atasannya. Bagaimana kok kasus sedemikian serius, tapi penanganannya tidak serius?
"Putusan ini mengirimkan pesan yang kurang baik bahwa hukum tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban-korban penyiksaan. Kita tahu banyak sekali pekerja kita yang mengalami penyiksaan," tutur Hermono.
Ke depan, menurut Hermono, pihaknya masih mempelajari kemungkinan mengajukan kasus perdata untuk kompensasi kepada keluarga Adelina.
"Tapi ini akan kita koordinasikan dengan Jakarta," ujarnya.
Putusan Mahkamah Persekutuan juga membuat sebagian publik Malaysia kecewa. Mantan hakim Malaysia, Datuk Nor Faridah, menilai bebasnya majikan Adelina menunjukkan "gugurnya keadilan".
"Asisten rumah tangga itu telah tewas! Ini bukan kasus penganiayaan yang menyebabkan cedera. Dia dibunuh. Siapapun yang bertanggung jawab harus dihukum!" serunya dalam pesan kepada BBC News Indonesia.
Hakim beranggapan bahwa pihak jaksa tidak mempersiapkan berkas tuntutan sesuai dengan waktu yang telah diberikan dan tidak dapat menjelaskan alasan permohonan DNAA.
Dengan mempertimbangkan usia Ambika yang sudah tua (60 tahun) dan sakit, maka hakim memutuskan untuk membebaskan terdakwa dan terdakwa tidak dapat dituntut kembali di kemudian hari atau Discharge Amounting to Acquital (DAA).
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sudah bertemu dengan Jaksa Agung Malaysia, Tommy Thomas, untuk membicarakan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), termasuk di antaranya mendesak pihak Kejaksaan segera banding kasus Adelina.
Tak hanya menganiaya, majikannya juga tega membiarkan Adelina tidur di teras bersama anjingnya hingga beberapa hari. Berita kematian Adelina pun sempat menjadi pemberitaan media internasional.
Atas kasus tersebut, Pemerintah Indonesia telah mendesak Pengadilan Malaysia memberikan hukuman setimpal kepada pelaku. Namun, kabar mengejutkan justru tersiar pada 18 April 2019, dimana Pengadilan Tinggi Pulau Penang memutus bebas Ambika. Anggota parlemen Malaysia dari Bukit Mertajam, Steven Sim, yang melihat sendiri kondisi Adelina pada hari terakhirnya, mengaku sedih dengan putusan pengadilan.
"Saya sangat sedih dengan putusan ini. Ini benar-benar hari yang kelam bagi kami, ketika seorang warga asing muda yang menjadi korban penyelundupan manusia ke negara kami dan kemudian didapati telah disiksa dan meninggal, tapi tidak ada yang dihukum atas kejahatan apapun," jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Adapun Alex Ong dari lembaga Migrant Care menilai putusan Mahkamah Persekutuan disebabkan rendahnya kemampuan investigasi kriminal dan penuntutan. "Kami menyesali hasil kasus ini. Penegakan hukum Malaysia terhadap kebijakan buruk sistem online asisten rumah tangga telah menciptakan ribuan korban yang diselundupkan menjadi dikorbankan.
"Kita memerlukan langkah-langkah korektif pada reformasi legislasi untuk menangani gugurnya keadilan dengan banyak hukum pidana serta memperbaiki praktik-praktik buruk dalam penegakan hukum."
Adelina Lisao lahir di Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1998. Pada umur 15 tahun, Juni 2013, ia berangkat ke Malaysia pertama kali dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan.
Di Indonesia, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun dan mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, setiba di Kuala Lumpur, Malaysia, majikan Adelina mengkonversi visa kunjungan singkatnya menjadi izin kerja sebagai PRT selama setahun.
Setelah izin habis, Adelina pulang ke Indonesia. Tapi, tiga bulan kemudian, Adelina kembali ke Malaysia menggunakan visa turis, dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam (anak dari Ambika) di Penang.
Di situ, Adelina bekerja sebagai PRT secara ilegal karena majikan tidak mengurus izin kerja, asuransi dan kontrak kerja.
Empat tahun berlalu, tepatnya 10 Februari 2018, Kepolisian Seberang Perai Tengah menyelamatkan Adelina dari penyiksaan dan membawanya ke rumah sakit setelah mendapatkan informasi dari para tetangga yang mendengarnya mengerang kesakitan.
Saat dievakuasi petugas, Adelina disebut mengalami kurang gizi, luka-luka parah (tangan dan kaki penuh luka bakar, wajah bengkak), dan ketakutan.
Adelina bahkan disebut hampir tidak bisa berjalan dan diduga dipaksa tidur di beranda rumah bersama anjing. Majikannya dikabarkan tak mau cairan dari luka-luka di tubuhnya membuat kotor dalam rumah mereka.
Keesokan harinya, Adelina dinyatakan meninggal dunia, dengan dugaan Ambika melakukan penganiayaan. Hasil autopsi (post mortem) rumah sakit menunjukkan, penyebab kematian adalah kegagalan multiorgan sekunder karena anemia (kemungkinan pengabaian). (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Kematian ART Indonesia di Malaysia Adelina Lisao: Majikan Dibebaskan, Picu Kontroversi"