GridStar.ID - Baru-baru ini kabar status ekonomi Indonesia di tengah wabah covid-19 menjadi hal yang menyita perhatian.
Pasalnya, Bank Dunia baru saja meningkatkan status Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengan ke atas (upper middle income).
Sebelumnya, Indonesia masih dianggap negara berpenghasilan menengah ke bawah ( lower middle income country).
Kenaikan status itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
"Saya ingin juga menyampaikan berita yang baik juga buat kita bahwa Indonesia ini diumumkan oleh World Bank telah naik dari lower middle income country, menjadi upper middle income country," katanya dalam launching kampanye virtual Bangga Buatan Indonesia, Rabu (01/07)
Apa dampak kenaikan status itu bagi Indonesia?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) Bhima Yudhistira menilai, dampak kenaikan status itu lebih condong negatif bagi kepentingan Indonesia.
Dari sisi perdagangan internasional, kata dia, kenaikan status itu memiliki konsekuensi pada produk Indonesia yang semakin sedikit mendapatkan fasilitas untuk keringanan tarif.
"Jadi tinggal menunggu waktu misalnya AS akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences)," kata Bhima, Kamis (02/07).
"Padahal, banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu," lanjut dia.
Biasanya, langkah negara maju seperti AS itu akan diikuti oleh negara lainnya, seperti Kanada dan negara-negara Eropa.
Hal itu akan mempersulit situasi Indonesia yang tengah memerlukan kenaikan kinerja eskpor akibat pandemi Covid-19.
Bhima mengatakan, kenaikan status itu juga akan berdampak signifikan pada pembiayaan utang.
Dengan naiknya status menjadi upper middle income, Indonesia dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih tinggi.
Menurut Bhima, negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang income-nya lebih rendah dari Indonesia, khususnya negara kelompok low income countries.
"Dengan kondisi ini maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin terbatas. Pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1 persen tentunya makin berat," kata dia.
Akibatnya, pemerintah makin gencar menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual dengan market rate.
"Sekarang saja sudah di atas 7 persen bunganya. Mahal sekali dan pastinya ke depan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah," ujar Bhima.
"Kalau mau tambah utang ya bisa, tapi bunganya makin mempersempit ruang fiskal nanti," lanjut dia.
Bhima menjelaskan, kenaikan status tersebut juga akan mengancam serapan tenaga kerja jika tak dibarengi dengan perubahan struktur ekonomi.
Menurut Bhima, porsi industri manufaktur terhadap PDB per triwulan I 2020 terus mengalami penurunan di bawah 20 persen, sementara deindustrialisasi prematur masih terus berjalan.
Idealnya, sektor itulah yang harus didorong karena memiliki nilai tambah dan serapan kerja yang besar.
"Kita terlalu cepat masuk ke sektor jasa, oleh karena itu motor ekonominya rapuh. Ini harus diperbaiki untuk lepas dari jebakan kelas menengah," jelas Bhima.
Dia juga mengingatkan agar pemerintah tidak berbangga dulu atas kenaikan itu.
Alasannya, status Indonesia masih negara berpendapatan menengah. Ketentuan itu berasal dari kategorisasi Bank Dunia, yaitu lower middle income GNI per kapitanya 1.026-3.995 dollar AS, sementara upper middle 3.996-12.375 dollar AS. Ketentuan ini baru diperbarui per Juli 2019. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Naik Status Jadi Negara Upper Middle Income, Apa Dampaknya bagi Indonesia?