Bak Petir di Siang Bolong, WHO Sebut Pandemi COVID-19 Masih Jauh dari Akhir Hingga Desak Negara-Negara untuk Tak Berhenti Menyerah, New Normal Pilihan yang Salah?

Rabu, 10 Juni 2020 | 12:30
Tribunnews

Bak Petir di Siang Bolong, WHO Sebut Pandemi COVID-19 Masih Jauh dari Berakhir Hingga Desak Negara-Negara untuk Tak Berhenti Menyerah, New Normal Pilihan yang Salah?

GridStar.ID-Virus Corona masih terus menjadi momok yang amat mengerikan bagi dunia.

Virus yang berasal dari Kota Wuhan, China ini telah banyak menelan korban jiwa.

Tak hanya puluhan orang, bahkan jutaan telah dinyatakan meninggal dikarenakan terpapar virus ini.

Baca Juga: Geser Posisi Achmad Yurianto, Ternyata Ini Alasan Dokter Reisa Broto Asmoro Gantikannya Sebagai Tim Komunikasi Gugus Tugas Covid-19

Tak ada satupun orang yang tahu pasti kapan virus ini akan musnah dari bumi.

Bahkan, sudah berbulan-bulan pandemi corona menyerang dunia, tak ada sama sekali tanda akan berakhir, justru kasus positif semakin hari semakin meroket.

Mengutip dari Tribun-Medan.com, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kasus baru Covid-19 mengalami peningkatan harian terbesarnya ketika pandemi corona memburuk secara global dan belum mencapai puncaknya di Amerika tengah.

Baca Juga: Provinsi yang Memiliki Kasus Positif Covid-19 Tertinggi di Indonesia, Satu Daerah di DKI Jakarta Ini Bertahan Jadi Zona Hijau di Ibukota, Apa Rahasianya?

WHO mendesak negara-negara untuk melanjutkan upaya-upaya penanggulangan virus.

"Lebih dari enam bulan, ini bukan saatnya bagi negara manapun untuk menghentikan upaya penanggulangan virus corona," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, di Jenewa, Senin (09/06).

Menurutnya, lebih dari 136 ribu kasus baru dilaporkan di seluruh dunia pada Minggu, paling banyak dalam satu hari sejauh ini. Hampir 75 persen dari kasus Covid-19 dilaporkan dari 10 negara, sebagian besar di Amerika dan Asia Selatan.

Baca Juga: Belum Juga Melandai, Indonesia Tembus 1.000 Kasus Baru Positif Covid-19 dalam 24 Jam Terakhir

Ahli kegawatdaruratan terkemuka dari WHO Dr Mike Ryan, mengatakan "Kita perlu fokus sekarang pada apa yang kita lakukan hari ini untuk mencegah puncak gelombang ke dua.

"Ryan juga mengatakan infeksi di negara-negara Amerika tengah termasuk Guatemala masih meningkat, dan mereka adalah epidemi kompleks.

"Saya pikir ini adalah saat yang sangat memprihatinkan," katanya seraya menyerukan kepemimpinan pemerintah yang kuat dan dukungan internasional untuk kawasan itu. Brasil saat ini menjadi wilayah tertinggi kasus Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi kedua terbanyak, setelah Amerika Serikat, dan jumlah kematian pekan lalu melampaui Italia.

Baca Juga: 3 Jenis Virus Corona di Indonesia Tidak Masuk dalam Kategori yang Ada di Dunia, Kok Bisa?

Setelah mengeluarkan angka kumulatif untuk kematian akibat virus corona di Brasil, Departemen Kesehatan menebarkan kebingungan dan kontroversi lebih lanjut dengan merilis dua model angka yang saling bertentangan untuk penghitungan terbaru kasusi nfeksi dan kematian.

Ryan mengatakan data Brasil "sangat rinci" sejauh ini tetapi menekankan pentingnya bagi Brasil untuk memahami di mana virus itu dan bagaimana mengelola risiko. Maria van Kerkhove, seorang ahli epidemiologi WHO, mengatakan pendekatan komprehensif sangatpenting di Amerika Selatan.

Lebih dari 7 juta orang dilaporkan terinfeksi virus corona secara global dan lebihdari 400 ribu meninggal dunia.

Baca Juga: WHO Umumkan Fakta-Fakta Uji Coba Hidroksiklorokuin Jadi Obat Virus Covid-19, Hasilnya Ternyata...

"Ini masih jauh akan berakhirnya pandemi," kata van Kerkhove.Setidaknya setengah dari kasus virus corona yang baru ditemukan di Singapura tidak menunjukkan gejala, kata ketua gugus tugas.

Van Kerkhove mengatakan banyak negara yang melakukan pelacakan kontak telah mengidentifikasi kasus tanpa gejala tetapi tidak menemukan mereka menyebabkan penyebaran virus lebih lanjut.

kompas.com
kompas.com

(Ilustrasi) Pasien positf corona.

Sejak Agustus 2019

Havard Medical School, London, menemukan fakta baru menyangkut virus corona di Wuhan, China. Menurut hasil penelitian Havard Medical School, Covid-19 kemungkinan telah menyebar di China paling awal sejak Agustus 2019.

Baca Juga: Meski Kasus Covid-19 di Surabaya Masih Tinggi, Gubernur Jawa Timur Ijinkan Wali Kota Risma Akhiri PSBB, Ini Alasan Khofifah

Penelitian itu didasari citra satelit menyangkut pola kunjungan ke rumah sakit dan data mesin pencarian di dunia maya. Kajian itu mengolah informasi dari kunjungan pasien sebagaimana terlihat dari sejumlah halaman parkir rumahsakit di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Data itu didapat melalui citra satelit beresolusi tinggi. Sedang dua kata dari mesin pencari atau search engine yang jadi fokus penelusuran adalah "batuk" dan "diare".

"Tingginya tingkat kunjungan orang ke rumah sakit dan pencarian data terkait gejala penyakit (Covid-19) di Wuhan telah lebih dulu terjadi dan terdokumentasikan sebelum kasus pertama SARS-CoV-2 diumumkan pada Desember 2019," menurut hasil kajian itu.

Baca Juga: Obat Ampuh Penangkal Corona Tak Kunjung Ditemukan, Amerika Bersikukuh Tuding China Jadi Dalang Perlambat Penemuan Vaksin Virus Corona

Ditambahkan, meskipun peneliti tidak dapat mengonfirmasi ada keterkaitan tingginya angka kunjungan dengan adanya virus baru, bukti-bukti yang terkumpul mendukung temuan kajian lainnya yaitu virus itu telah menyebar sebeluma danya temuan di Pasar Huanan Seafood.

"Temuan ini juga sejalan dengan hipotesis virus itu muncul secara alamiah di wilayah selatan China dan kemungkinan telah menyebar lebih dulu sebelum adanya klaster Wuhan," demikian ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut.

Kajian itu menunjukkan adanya peningkatan kendaraan yang terparkir di rumah sakit padaAgustus 2019.

Baca Juga: Gadis 14 Tahun Pilih Akhiri Hidupnya Gegara Tak Bisa Ikut Sekolah Oline Seperti Teman-temannya karena Orang Tuanya Tak Sanggup Belikan Kuota

"Pada Agustus, kami mengidentifikasi kenaikan tidak wajar pada pencarian laman mengenaidiare. Pencarian itu tidak ditemukan saat musim flu sebelumnya atau tercermin dalam data pencarian tentang batuk," bunyi kajian dari Harvard. (*)

Editor : Hinggar

Sumber : Tribun-Medan.com

Baca Lainnya