Dosen ITB Sampai Rela Bermalam di Masjid Lantaran Dicibir Habis-habisan karena Ciptakan Ventilator, Kini Dapat Dana Bantuan Rp10 Miliar

Kamis, 02 Juli 2020 | 14:02
Kolase Tribunnews Maker

Dosen ITB Sampai Rela Bermalam di Masjid Lantaran Dicibir Habis-habisan karena Ciptakan Ventilator, Kini Dapat Dana Bantuan Rp10 Miliar

GridStar.ID - Kisah dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Syarif Hidayat baru-baru ini viral.

Pasalnya, dosen satu ini menciptakan Ventilator Indonesia (Vent-I) selama 6 minggu kini mulai berbuah manis.

Sempat terpuruk, begini ksiahnya yang sudah berhasil dapat suntikandana hingga Rp 10 miliar.

Baca Juga: Ilmuwan China Temukan Ancaman Baru, Ditemukan Kasus Virus G4 dari Flu Babi di Tengah Pandemi Covid-19, Penderita Alami Gejala-Gejala Ini!

"Di sinilah saya menghabiskan waktu hampir 6 minggu saat menciptakan Vent-I. Tidur hanya 4 jam di sofa ini setiap malam,” ujar Syarif dilansir dari Kompas.com, Senin, (29/06).

Syarif menceritakan awal mula Vent-I tercipta. Saat itu, menyusul kebijakan work from home (WFH) dari pemerintah, ITB memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Diikuti dengan Masjid Salman ITB yang menutup kegiatan masjid sementara waktu untuk memutus rantai penularan virus corona.

Baca Juga: Pasien Positif Corona dan Sembuh Sama-sama Capai Seribu Kasus, Provinsi Ini Menjadi yang Tertinggi Mencapai 394 Orang Pasien Sembuh pada 30 Juni

Sepulang rapat dari Salman ITB, ia bertemu dengan alumni ITB yang masuk ke dalam tim Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam penanganan Covid-19.

“Dia bertanya, pak bisa bikin sprayer? Saya jawab bisa. Kalau bikin ventilator? Saya jawab, nanti saya pelajari dulu. Jadi ucapan ventilator itu datang dari dia,” tutur Syarif.

Keesokan harinya, Syarif baru mengatakan dirinya bisa membuat ventilator.

Baca Juga: Bersujud Seraya Menangis di Kaki Seorang Dokter, Tri Rismaharini Ngemis Maaf Soal Rumah Sakit Overload Pasien Covid-19, Wali Kota Surabaya: Faktanya Memang Banyak!

Sebagai insinyur, ia punya keyakinan. Apapun yang bisa dibuat manusia, maka ia bisa membuatnya. Syarif kemudian menugaskan stafnya untuk membeli komponen ventilator.

Dari sana ia tersadar, mafia di alat kesehatan luar biasa.

“Kalau daging impor, harganya naik 4 kali lipat. Tapi kalau alat kesehatan (alkes) bisa10 kali lipat. Saya makin bertekad untuk membuatnya tanpa menggunakan rantai pasok alkes,” ungkap Syarif.

Baca Juga: Belum Selesai dengan Virus Corona, Kini Ilmuwan Menemukan Flu Babi Jenis Baru dari China yang Mungkin Jadi Pandemi

Ia mencoba mengembangkan ventilator dengan alat seadanya. Karena tidak memungkinkan, ia mengajukan dana pada Salman Rp 50 juta sebagai modal awal pembuatan ventilator.

Setelah jadi, ia memosting prototype ventilator dan memostingnya di media sosial. Lalu ia tulis membutuhkan dokter untuk mereview ventilatornya.

Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan dokter anestisi, Ike Sri Rezeki dari Unpad. Dengan tegas Ike mengatakan, rancangan Syarif bagus dan banyak.

Baca Juga: Satu Persatu Ramalan Wirang Birawa Jadi Kenyataan, WHO Diam-Diam Punya Dua Kandidat Ilmuwan yang Temukan Vaksin Virus Corona Paling Unggul, Apa ya?

Namun yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah Continous Positive Airway Pressure (CPAP).

CPAP adalah satu fungsi paling sederhana pada ventilator untuk memberikan tekanan positif pada paru-paru agar terus megembang, tidak kuncup.

Ini penting karena Covid-19 menghasilkan lendir yang membuat paru-paru tidak bisa menerima oksigen.

Baca Juga: Membunuh Setengah Juta Orang di Seluruh Dunia, Wabah Covid-19 Menjadi yang Paling Mematikan dan Terparah Selama 100 Tahun

“Saya bimbang, karena yang dipakai alat sederhana, tidak menantang banget. Karena yang saya buat terbilang canggih. Tapi dalam ekosistem inovasi, voice of customer sangat penting. Makanya saya libatkan dokter,” ucap dosen ITB ini mengungkapkan.

Ia akhirnya menyetujui permintaan Ike. Meski terbilang sederhana, prosesnya tidak mudah.

Kondisi pandemi membuat material yang dibutuhkan sulit ditemukan. Apalagi material yang berasal dari luar negeri, tekendala juga oleh pengiriman sehingga tidak bisa dipastikan akan sampai kapan.

Baca Juga: Bikin Gempar Dunia, Ahli Virus Ungkap Penemuan Covid-19 di Spanyol Sejak Maret 2019, Jadi Sumber Penularan Pertama?

Syarif kemudian memutuskan membuat material yang dibutuhkan. Misal dalam pembuatan pompa. Ia mencari produk yang ada di Indonesia dan tidak berebut.

Pilihannya jatuh pada pompa peniup kasur. Ia modif pompa peniup kasur dengan motor yang biasa digunakan drone. Kemudian, alat itu akan dilengkapi dengan venting. Semua proses ini sempat dicibir.

Syarif dan timnya dinilai tidak akan mampu menyelesaikan ventilator. Ada juga yang bilang, Vent-I sebagai proyek “mission impossible”.

Baca Juga: Bikin Ngeri Warganya, Setelah Kebut Tes Massal Kasus Positif Corona di Jawa Tengah Melonjak 3.000 Orang, Ganjar Pranowo Malah Tenang: Lebih Baik...

Namun keraguan sejumlah pihak itu tidak dihiraukannya. Ia terus maju, walaupun diisi dengan air mata.

“Pasien Covid harus dirawat 14 hari, maka minimal alat saya harus mampu bertahan 14 hari. Tapi begitu dicoba, hanya tahan 2 hari 2 malam. Saya perbaiki, ganti material, eh 12 jam rusak. Nangislah saya, gimana bisa nolong orang,” tutur dia.

Setelah menangis, ia pun bangkit dan kembali terus mencoba, hingga produknya berhenti diujicoba setelah melewati 21 hari.

Baca Juga: 15 Kali Tes Swab, 82 Hari Karantina, Kisah Mengharukan Perjuangan Pasien Sembuh dari Virus Corona Ngaku hingga Deg-degan Setiap Liat Jenazah

Bahkan Vent-I dinyatakan lolos uji semua kriteria uji sesuai dengan standar SNI IEC 60601-1:204: Persyaratan Umum Keselamatan Dasar dan Kinerja Esensial dan Rapidly Manufactured CPAP Systems, Document CPAP 001, Specification, MHRA, 2020.

Vent-I menggunakan mesin ventilator Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) agar mudah dioperasikan baik oleh dokter ataupun perawat. Bahkan Vent-I bisa dibawa pulang.

Harganya pun jauh lebih rendah. Harga ventilator portable di pasaran dunia dijual Rp 30 juta-70 juta. Sedangkan Vent-I dijual Rp 18 juta.

Baca Juga: Bawa Angin Segar, WHO Ungkap Temukan Dua Calon Vaksin Terdepan dan Siap Diuji untuk Tangani Virus Corona, Apa Saja?

“Vent-I juga sudah dipatenkan, dari 8 ada 5 yang sudah dipatenkan,” ucap dia.

Dokter ahli petir ini mengatakan, pengembangan Vent-I menghabiskan waktu 6 minggu.

Selama itu, ia memilih meninggalkan rumah dan tidur di ruang kerjanya di Masjid Salman.

Ia memanfaatkan ruang kerjanya yang kecil untuk mengembangkan idenya dan menggunakan sofa hitam untuk tempat tidurnya.

Baca Juga: Bak Angin Segar Tanda Berakhirnya Pandemi Corona, Kasus Positif Covid-19 di DKI Jakarta Kian Terkendali dan Siap Masuki Masa Transisi, Anies Baswedan: Hikmah Datang Esok...

Setiap malam, ia hanya tidur sekitar 4 jam. Waktunya lebih banyak digunakan untuk pengembangan Vent-I.

Dalam perkembangannya, beberapa ruangan di Salman ITB diubah menjadi bengkel Vent-I.

Mulai dari ruang serba guna, kelas, hingga kantin. Sejumlah kampus pun ikut membantu, seperti ITB, Unpad, Polman, Polban, sejumlah SMK, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan lainnya.

Baca Juga: Terjadi Lagi, Nekat Gelar Pesta Pernikahan di Tengah Pandemi, Kebahagiaan Berujung Duka Setelah Pengantin Pria Meninggal Karena Covid-19 dan Puluhan Tamu Positif Corona

Saat ini, tim sedang membuat 850 Vent-I yang akan dibagikan gratis ke rumah sakit di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian Vent-I sudah disebar, terbanyak di Pulau Jawa.

“Dana pembuatan Vent-I berasal dari dana masyarakat. Bisa dibilang masyarakat yang membeli 850 Vent-I ini atau lebih dari Rp 10 miliar,” tutur Syarif.

Syarif menjelaskan, saat Vent-I ini dikembangkan, banyak teman yang tertarik ingin menyumbang untuk membantu pasien. Kemudian Salman membuat crowd funding untuk pembuatan Vent-I hingga terkumpul dana Rp 10 miliar lebih. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judulKisah Dosen ITB Bikin Ventilator Indonesia, Rela Dicibir, Tidur di Masjid, hingga Dapat Dana Rp 10 M

Tag

Editor : Tiur Kartikawati Renata Sari

Sumber kompas