GridStar.ID - Beberapa waktu lalu, pasangan YouTuber menikah muda sempat buat geger publik.
Pasalnya, YouTuber perempuan ini menikah pada usia 16 tahun usai lulus SMP.
Namun, pasangan ini memiliki cukup banyak penggemar yang mendukung keputusan keduanya menikah muda.
Di Indonesia, usia pernikahan setidaknya dilakukan jika anak telah berusia minimal 19 tahun sesuai undang-undang.
Mengkaji permasalahan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan pemaparan bertajuk Kawin Usia Anak Bukan Pilihan, Untuk Indonesia Emas 2024 dengan pembicara Lenny N. Rosalin (Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak), Susanto (KPAI), Alissa Wahid (Pakar Psikologi dan Keluarga), Roy Thaniago (Peneliti Media), Tristania Faisa, (Ketua FAN 2019-2021) pada Rabu, (20/05) melalui sambungan video.
Menurut data yang disampaikan Lenny N. Rosalin selaku Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, ada 1 dari 9 anak di Indonesia yang menikah sebelum usia 18 tahun.
Sehingga, keseluruhan data ada 11,21% perempuan di Indonesia menikah diri dengan data 4,8% menikah sebelum 17 tahun, 1,8% menikah sebelum 16 tahun, 0,6% menikah sebelum 15 tahun.
Penyebab praktik perkawinan anak memiliki banyak faktor.
Beberapa faktor yang bisa memantik perceraian termasuk ekonomi dan kemiskinan, budaya dan agama, ketidaksetaraan gender, regulasi, geografi, akses pendidikan, dan globalisasi.
Konsekuensi ini menjadi efek domino, jika anak mengalami kawin muda.
Anak menikah muda maka si anak akan drop out dari pendidikan dasar.
Pendidikan dasar yang tak tuntas menyebabkan anak kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak.
Selain itu, kesehatan reproduksi anak juga bisa terganggu akibat perkawinan dini.
Diketahui, 4,5x peluang terjadinya kehamilan dengan risiko tinggi, 2x risiko kematian saat melahirkan anak, 2-5x berpeluang preeklamsia, risiko hamil prematur, hingga kanker serviks bisa dialami jika anak perempuan hamil di usia sebelum 18 tahun.
Tak hanya soal kesehatan yang terdampak, ada banyak masalah rumah tangga yang akan terjadi jika emosi anak masih labil saat berumah tangga.
Pernikahan anak bisa lebih rentan KDRT, KTA, kesehatan mental, hingga kesalahan pada pola asuh anak.
Yang paling fatal, tentu saja menambah angka perceraian.
Beberapa alasan yang paling sering dijadikan motif perceraian menurut data termasuk, pertengkaran dan ekonomi.
Maka, sangat penting mencegah pernikahan dini di usia anak-anak.
Support system dari diri anak sendiri, keluarga, satuan pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga hukum, lembaga kesehatan, masyarakat dan wilayah sekitar harus turun berperan.
Kini, pemerintah ingin menurunkan tingkat pernikahan anak dari 11,8% pada tahun 2018 lalu menjadi 8,74% pada tahun 2024. (*)